Kamis, 14 Mei 2015

TERJEMAHAN KITAB IHYA ULUMUDIN-IMAM AL-GHAZALI RA

BAB:

Penj. Ilmu Fardhu Kifayah

PENJELASAN TENTANG ILMU YANG FARDLU KIFAYAH
Ketahuilah bahwa fardiu tidak berbeda dengan yang tidak fardiu, kecuali dengan menyebutkan bahagian-bahagian ilmu.Dan ilmu-ilmu itu dengan disangkutkan kepada fardlu yang sedang kita bicarakan ini, terbagi kepada : ilmu syari'ah dan bukan ilmu syari'ah.

Yang dimaksudkan dengan ilmu syari'ah ialah yang diperoleh dari Nabi-Nabi as. Dan tidak ditunjukkan oleh akal manusia kepadanya, seumpama ilmu berhitung atau percobaan seumpama ilmu kedokteran atau pendengaran seumpama bahasa.

Maka ilmu-ilmu yang bukan syari'ah, terbagi kepada : ilmu yang terpuji, ilmu yang tercela dan ilmu yang dibolehkan. Ilmu yang terpuji, ialah yang ada hubungannya dengan kepentingan urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Dan itu terbagi kepada fardlu kifayah dan kepada ilmu utama yang tidak fardlu.

Yang fardlu kifayah, ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan urusan duniawi, seumpama ilmu kedokteran. Karena pentingnya dalam pemeliharaan tubuh manusia. Dan seumpama ilmu berhitung, karena pentingnya dalam masyarakat jual beli, pembahagian harta wasiat, pusaka dan lain-lainnya. Inilah ilmu-ilmu, jikalau kosonglah negeri dari pada orang- orang yang menegakkannya, niscaya berdosalah penduduk negeri itu. Tetapi apabila ada seorang saja yang bangun menegakkan ilmu itu, maka mencukupilah dan terlepaslah yang lain dari kewajiban tersebut.
Dari itu, tak usah diherankan dari perkataan kami, bahwa ilmu kedokteran dan ilmu berhitung itu termasuk fardiu kifayah. Juga pokok-pokok perusahaan (industri) juga termasuk fardiu kifayah, seumpama pertanian, pertenunan dan siasat Bahkan juga pembekaman dan penjahitan, karena jikalau kosonglah negeri dari tukang bekam maka segeralah datang kebinasaan kepada mereka. Dan berdosalah mereka itu membawa dirinya kepada kebinasaan. Maka sesungguhnya Yang Menurunkan penyakit, Dia pulalah yang menurunkan obat dan memberi petunjuk cara memakainya serta menyediakan sebab-sebab untuk merawatinya. Maka tidak dibolehkan membawa diri kepada kebinasaan dengan menyia-nyiakan obat itu.

Adapun ilmu yang dihitung : utama, tidaklah fardu. Maka mendalami hal-hal yang halus bagi ilmu berhitung, ilmu kedokteran dan lain-Iainnya, adalah termasuk yang tidak diperlukan begitu penting. Tetapi berfaedah menambahkan kekuatan pd kadar yang diperlukan.

Adapun ilmu yang tercela yaitu : ilmu sihir, mantera-mantera, ilmu tenung dan ilmu balik mata.
Adapun ilmu yang dibolehkan yaitu : ilmu tentang pantun-pantun yang tak cabul, berita-berita sejarah dan sebagainya.

Adapun ilmu syari'ah dan itulah yang dimaksud menjelaskannya, maka adalah terpuji semuanya. Tetapi kadang-kadang bercampur dengan apa yang disangkakan itu syari'ah. Pada hal adalah itu tercela. Dari itu, terbagi kepada : terpuji dan tercela.

Yang terpuji mempunyai pokok, cabang, mukaddimah dan pelengkap, sehingga berjumlah empat.
Yang pertama : pokok (ushul). Yaitu empat : Kitabullah 'Azza wa Jalla, Sunnah Rasul  صلى الله عليه وسلم ljma' ummat dan peninggalan-peninggalan shahabat (atsar).
Dan ljma' itu pokok, dari segi bahwa dia menunjukkan kepada Sunnah. Maka adalah dia pokok pada derajat ketiga.

Begitu juga peninggalan shahabat, maka dia juga pokok menunjukkan kepada Sunnah. Karena para shahabat r.a. menyaksikan wahyu dan penurunan Al-Qur'an. Dan mengetahui dengan petunjuk-petunjuk keadaan, apa yang tidak diketahui oleh orang lain. Kadang-kadang tidak dijumpai kata-kata dalam apa yang diketahui dengan petunjuk keadaan. Maka dengan dasar ini, para alim ulama berpendapat untuk mengikuti dan berpegang teguh kepada peninggalan-peninggalan shahabat. Dan yang demikian itu adalah dengan syarat tertentu, dalam bentuk tertentu dan tidak wajar menerangkannya dalam kupasan ini.
Yang kedua : Cabang (furu'). yaitu apa yang dipahamkan dari pokok-pokok (ushul) di atas. Tidak menurut yang dikehendaki oleh kata-katanya, tetapi menurut pengertian yang dapat dicapai oleh akal pikiran. Dengan sebab itu maka faham menjadi luas, Sehingga dari kata-kata yang diucapkan, dapat dipahami yang lain. Seperti apa yang dapat dipahami dari sabda Nabi صلى الله عليه وسلم   :لا يقضي القاضي وهو غضبان
(Laa yaqdlil qaadlii wa huwa ghadl-baanu).
Artinya :"Hakim (kadli) itu tidak mengadili perkara ketika dia sedang marah'(1) Bahwa dia tidak mengadili juga ketika mau buang air, lapar atau merasa sakit .
 
Ilmu furu' itu terbagi dua :
Pertama menyangkut dengan kepentingan duniawi. Dan termuat dalam kitab-kitab fiqih. Yang bertanggung jawab terhadapnya ialah para ulama fiqih. Dan mereka itu adalah ulama dunia.

Kedua menyangkut dengan kepentingan akhirat. Yaitu ilmu hal keadaan hati, budi pekerti terpuji dan tercela, hal-ikhwal yang direlai dan yang dibenci Allah. Pengetahuan ini termuat pada bagian penghabisan dari kitab ini. Yakni dalam jumlah kitab '."Ihya'Ulumiddin". Dan sebahagian daripadanya, ialah ilmu yang memancar dari hati kepada anggota badan, dalam ibadahnya dan 'adat kebiasaannya. Dan itu termuat pada bahagian pertama dari kitab ini.
 
Yang ketiga : mukaddimah (ilmu pengantar), yaitu ilmu yang merupakan alat seperti ilmu bahasa dan tata-bahasa. Kedua-nya adalah merupakan alat untuk mengetahui isi Kitabullah dan Sunnah Rasul  صلى الله عليه وسلم Bahasa dan tata-bahasa itu tidaklah termasuk dalam ilmu syari'ah. Tetapi harus dipelajari disebabkan agama. Karena syari'ah (Agama Islam) ini datangnya dengan bahasa Arab. Dan semua agama tidak lahir selain dengan sesuatu bahasa. Maka jadilah mempelajari bahasa itu sebagai alat.

Dan setengah dari alat, ialah : ilmu menulis tulisan. Tetapi tidaklah itu penting. "Karena Rasulullah صلى الله عليه وسلم   sendiripun tidak tahu tulis baca أميّاً (ummi)  رسول الله صلى الله عليه وسلم أميّاً 

Kalaulah tergambar dapat dihafal semua yang didengar, maka menulis itu tidak perlu lagi. Tetapi pada ghalibnya, lemah dari hapalan maka menulis itu menjadi penting.
 
Yang keempat : penyempurna, yaitu : mengenai ilmu Al-Quran. Dan terbagi kepada : yang berhubungan dengan kata-katanya seperti mempelajari qira'ah (cara membaca), dan bunyi hurufhya. Dan yang berhubungan dengan pengertiannya, seperti tafsir, karena pengertian itu berpegang pula kepada naqal (keadaan di sekitar ayat itu, baik sebab turunnya dan suasananya yang diperoleh dalam sejarah tiap-tiap ayat suci).

    1.Dirawikan Al-Bukharl dan Muslim dari Abi Bikrah.2.Dirawikan Ibnu Mardawalh dari Abdullah bin umar,

 
Karena semata-mata bahasa saja, tidak dapat berdiri sendiri. Dan yang berhubungan dengan hukumnya, seperti mengetahui yang nasikh dan mansukh, yang umum dan yang khusus, yang nash dan yang dhahir dan cara menggunakan antara sebahagian ayat dengan sebahagian lainnya. Yaitu suatu ilmu yang bernama "Ushulul-fiqh". Dan ilmu ini melengkapi juga Sunnah Nabi.
 
Adapun, ilmu penyempurna pada hadits Nabi dan peninggalan peninggalan shahabat (atsar), yaitu ilmu mengenai perawi-perawi hadits, namanya, keturunannya, nama-nama shahabat, kepribadiannya dan ilmu mengenai adalah (kejujuran) perawi-perawi dan keadaan mereka dalam meriwayatkan hadits. Supaya dapat membedakan antara hadits lemah dan hadits kuat. Dan mengetahui umur mereka supaya dapat membedakan antara hadits mursal dan hadits musnad. Dan juga mengetahui yang berhubungan dengan musnad itu (**)
 
Inilah ilmu-ilmu syari'ah dan semuanya itu terpuji, bahkan semua-nya termasuk fardlu kifayah.
 
Jikalau anda tanyakan : mengapakah aku hubungkan ilmu fiqih dengan ilmu dunia dan ulama-ulama fiqih dengan ulama-ulama dunia?
Aku menjawab, bahwa ketahuilah sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan Adam a.s. dari tanah dan keturunannya dari unsur-unsur bahan dari tanah dan air hanyir. Mereka dikeluarkan dari tulang sulbi laki-laki, ke dalam rahim wanita. Dari situ ke dunia, kemudian ke kubur, kemudian ke padang makhsyar, kemudian kesorga atau ke neraka. Inilah permulaan mereka dan inilah kesudahan mereka! Dan inilah tempat kediaman mereka! Dijadikan dunia tempat mencari perbekalan untuk akhirat, supaya dapat diperoleh dari dunia itu, apa yang patut untuk perbekalan itu.

Kalau manusia itu memperoleh dunia dengan keadilan, maka lenyaplah segala permusuhan. Dan kosonglah para alim ulama dari kesibukan. Tetapi manusia itu memperoleh dunia dengan nafsu-syahwat, lalu timbullah bermacam-macam permusuhan. Maka perlulah kepada penguasa (sultan) untuk memimpinnya. Dan penguasa itu memerlukan kepada undang-undang (qanun) untuk memimpin ummat manusia itu.

Ahli fiqih, ialah orang yang tahu dengan undang-undang siasah, jalan mengetengahi diantara orang banyak, apabila bertengkar di bawah hukum hawa nafsu. Jadi, ahli fiqih itu adalah guru sultan
 

    **Hadits mursal, yaitu : perawi-perawinya tidak jelas sambung menyambung sampai kepada Nabi saw., sedang hadits musnad adalah Jelas (peny).

dan penunjuknya kepada jalan memimpin dan mengatur makhluk supaya teratur urusan duniawi dengan kelurusan mereka.
 
Demi sebenarnya, hal tersebut, berhubungan juga dengan agama. Tetapi tidaklah dengan agama itu sendiri, melainkan dengan perantaraan dunia. Karena dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dan agama itu tidak sempurna selain dengan dunia. Penguasa (raja) dan agama adalah dua anak kembar. Agama itu pokok dan penguasa itu pengawal. Sesuatu yang tidak berpokok (bersendi), roboh. Sesuatu yang tidak berpengawal (berpenjaga), hilang. Kerajaan dan kepastian hukum tak sempurna, selain dengan penguasa. Jalan kepastian hukum untuk menyelesaikan persoalan pemerintahan, ialah dengan fiqih.
Sebagaimana siasah manusia dengan pemerintahan, tidak termasuk sebahagian dari ilmu agama, pada tingkat pertama. Tetapi, adalah penolong kepada sesuatu, di mana agama tidak sempurna, kecuali dengan dia. Maka demikian juga pengetahuan jalan siasah. Seperti dimaklumi, bahwa ibadah hajji, tidak akan sempurna, kecuali dengan pengawal, yang mengawal dari orang-orang Arab diperjalanan. Sedang ibadah hajji itu suatu hal dan berjalan menuju ibadah hajji itu adalah hal kedua. Dan mengadakan pengawalan, di mana hajji itu tidak akan sempurna, selain dengan pengawalan itu, adalah hal ketiga. Dan mengetahui cara-cara, daya upaya dan aturan-aturan pengawalan itu, adalah hal keempat.
 
Maka hasil dari pengetahuan fiqih, ialah mengetahui cara kepemimpinan dan kepengawalan. Dan ditunjukkan kepada yang demikian, oleh apa yang dirawikan dari hadits musnad :
لا يفتي الناس إلا ثلاثة أمير أو مأمور أو متكلف
(Laa yuftin naasa illaa tsalaatsatun amiirun au raa'muurun au mu- takallifun).Artinya :"Tidak memberi fatwa (perintah) kepada manusia selain oleh tiga : amir atau ma'mur atau yang memikul beban itu (mutakallif)". (1)

Amir ialah imam (penguasa). Merekalah yang mengeluarkan fatwa. Ma'mur ialah wakil dari amir. Yang memikul beban itu, ialah yang lain dari yang dua tadi. Dan memikul beban tersebut tanpa diperlukan.
  

    1.Dirawikan Ibnu Majah dari 'Amr bin Syu'jib, isnadnya hassan (baik).

 
Para shahabat Nabi ra. menjaga diri dari mengeluarkan sesuatu fatwa. Hingga masing-masing mereka, menyerahkan kepada temannya. Dan mereka tidak menjaga benar, apabila ditanyakan tentang ilmu Al-Quran dan jalan ke akhirat.
 
Pada setengah riwayat, ganti dari yang memikul beban itu, ialah : "Orang yang bekerja dengan ria". Maka orang yang mau memikul risiko dengan menyatakan sesuatu fatwa, sedang dia tidak ditugaskan untuk itu, maka tidak ada maksud orang itu, selain mencari kemegahan dan harta.
 
Jika anda menyatakan kepadaku bahwa pendapatku tentang ilmu fiqih itu, kalaupun betul, hanya mengenai hukum penganiayaan, hukum denda, utang-piutang dan penyelesaian persengketaan, maka tidaklah betul mengenai bahagian ibadah, dari hal puasa dan shalat. Dan tidak pada yang dilengkapi oleh bahagian adat dari hukum mu'amalah, dari penjelasan halal dan haram.
 
Ketahuilah! Bahwa yang terdekat dari apa yang diperkatakan oleh ahli fiqih, dari amal perbuatan, di mana amal perbuatan itu adalah amal perbuatan akhirat, ialah tiga : Islam, shalat dan zakat, halal dan haram. Apabila anda perhatikan sejauh pandangan ahli fiqih tentang hal di atas, niscaya anda tahu, bahwa hal tersebut tidaklah melampaui batas-batas dunia kepada akhirat.
 
Apabila telah dipahami demikian pada yang tiga tadi, maka pada lainnya lebih jelas lagi. Tentang Islam maka ahli fiqih itu, memperkatakan tentang yang syah dari padanya, tentang yang batal dan tentang syarat-syaratnya. Dan tidaklah diperhatikan padanya, selain kepada lisan. Dan hati tidaklah termasuk dalam lingkungan wilayah seorang ahli fiqih. Karena Rasulullah saw. meletakkan pemegang pedang dan kekuasaan,diluar hati, dengan sabdanya :
هلا شققت عن قلبه؟
(Hallaa syaqaqta 'an qalbih).
Artinya :"Mengapa tidak engkau pisahkan dari hatinya?". (1)

    (1) Dirawikan Muslim dari Usamah bin Zaid.

 

Sabda ini ditujukan oleh Nabi sawصلى الله عليه وسل. kepada seorang pembunuh, yang membunuh orang yang telah mengucapkan kalimah Islam, dengan alasan bahwa pengucapannya itu lantaran takut kepada pedang. Bahkan ahli fiqih itu menetapkan syah Islam dibawah naungan pedang, pada hal ia tahu pedang itu tidak menyingkapkan isi niat seseorang dan tidak menghilangkan dari hati, kebodohan dan keheranan. Tetapi mengisyaratkan kepada pemegang pedang. Pedang itu memanjang kepada lehernya. Dan tangan itu memanjang kepada hartanya. Kalimat tadi dengan lisan adalah menyelamatkan leher dan harta, selama leher dan hartanya belum lagi terpisah dari padanya. Begitulah di dunia.

Dari itu, Nabi saw. bersabda :
قال صلى الله عليه وسلم :  أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله فإذا قالوها فقد عصموا مني دماءهم وأموالهم
(Umirtu an uqaatilan naasa hattaa yaquuluu laa ilaaha illallaahu fa-idzaa qaaluu haa faqad 'ashamuu minnii dimaa-ahum wa amwaa- lahura).
Artinya :Aku disuruh memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan  لا إله إلا الله Apabila telah diucapkannya, maka terpeliharalah darah dan hartanya daripadaku". Nabi saw. menetapkan akibatnya pengucapan itu pada darah (nyawa) dan harta". (1 Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abl Hurairah.)
 
Adapun di akhirat, maka harta itu tidak berguna padanya. Tetapi nur-hati, rahasianya dan keikhlasannya yang berguna. Dan itu tidak termasuk dalam bidang fiqih. Kalau seorang ahli fiqih mencempelungkan diri dalam ilmu fiqih, adalah seperti kalau ia mencempelungkan diri dalam ilmu kalam dan ilmu kedokteran. Dan dia itu berada di luar bidangnya.

Mengenai shalat, maka. ahli fiqih itu berfatwa dengan syah bila shalat itu dikerjakan dengan bentuk segala perbuatan shalat serta jelas syarat-syaratnya, meskipun ia lengah dalam seluruh shalatnya, dari awal sampai akhirnya. Asyik berfikir menghitung penjualan di pasar, kecuali ketika bertakbir.

Shalat semacam itu tidaklah bermanfa'at di akhirat, sebagaimana pengucapan dengan lisan mengenai Islam tak adalah manfa'atnya.
 

    1.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abl Hurairah. (mks90)

Tetapi ahli fiqih berfatwa dengan syahnya. Artinya apa yang telah dikerjakan, telah berhasil menuruti bunyi perintah dan hapuslah daripadanya, hukuman bunuh dan dera.
 
Adapun khusu' dan menghadirkan hati yang menjadi amal perbuatan akhirat dan dengan itu bermanfa'atlah amal dhahir, maka tidaklah disinggung-singgung oleh ahli fiqih. Kalaupun ada, maka adalah di luar bidangnya.
 
Mengenai zakat, maka ahli fiqih itu memandang yang mana dapat diminta bantuan penguasa. Sehingga apabila ada yang enggan membayar zakat, lalu penguasa mengambilnya dengan paksa. Karena telah diputuskan, bahwa harta itu telah terlepas dari hak miliknya.

Menurut ceritera, bahwa Kadli Abu Yusuf memberikan hartanya pada akhir tahun (akhir haul) kepada isterinya dan ia sendiri menerima pemberian dari isterinya untuk menghindarkan zakat. Maka diceriterakannya hal itu kepada Imam Abu Hanifah ra.
 
Imam Abu Hanifah ra. menjawab : "Itu adalah dari segi fiqihnya. Dan dia benar. Itu adalah dari fiqih dunia. Akan tetapi di akhirat melaratnya lebih besar dari segala penganiayaan".
Seumpama inilah kiranya, ilmu yang mendatangkan melarat. Mengenai halal dan haram, maka menjaga diri (wara') dari yang haram, adalah sebahagian dari agama. Tetapi wara' itu mempunyai empat tingkat:
 
Tingkat pertama : ialah penjagaan diri (wara'), yang disyaratkan pada keadilan kesaksian. Yaitu bila penjagaan diri yang tersebut tidak ada, maka orang tidak boleh menjadi saksi, hakim dan wali. Penjagaan diri yang dimaksud, ialah penjagaan diri, dari perbuatan yang nyata haramnya.
 
Tingkat kedua : ialah wara' orang-orang salih. Yaitu, menjauhkan diri dari segala perbuatan syubhat, yang ada padanya kemungkinan- kemungkinan yang diragukan.

Bersabda Nabi
قال صلى الله عليه وسلم:  دع ما يريبك إلى مالا يريبك
(Da'-maa yariibuka ilaa maa laa yariibuka).
Artinya :"Tinggalkanlah yang meragukan untuk diambil yang tidak meragukan". (1)
Dan Nabi saw. bersabda :
وقال صلى الله عليه وسلم:   الإثم حزاز القلوب
(Al-itsmu hazzaazul quluub).
Artinya :"Dosa itu membawa penyakit bagi hati (jiwa)". (2)

Tingkat ketiga: ialah wara' orang-orang yang taqwa (muttaqin). Yaitu meninggalkan perbuatan yang sebenarnya halal tetapi dikuwatiri terbawa kepada yang haram.

Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
لا يكون الرجل من المتقين حتى يدع ما لا بأس به مخافة مما به بأس
(Laa yakuunurrajulu minal muttaqiina hattaa yada'a maa laa ba'sa bihi ma khaafatan raimmaa bihi ba'sun)  Artinya :"Tidaklah orang itu bernama orang taqwa, sebelum ia meninggakan sesuatu yang tak ada apa-apanya, karena takut kepada yang ada apa-apanya". (3)
 
Contohnya seumpama : menjaga diri (wara') dari mempercakapkan hal orang. Karena takut terperosok kepada mengumpat. Dan memelihara diri dari memakan sepanjang keinginan, karena takut bergelora semangat dan tenaga yang membawa kepada perbuatan terlarang.
 
Tingkat keempat : ialah wara' orang-orang shiddiqin. Yaitu berpaling (meninggalkan), selain kepada Allah Ta'ala. Karena takut 

    1.Dirawikan At-Tirmidzi, An-Nasa-i- dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Ali .
    2.Dirawikan Al-Baihaqi dari ibnu Mas'ud. Dan dirawikan Ai-'Adani, hadis mauquf.
    3.Dirawikan At-Tirirmidzi, Ibn Majah dan Al-Hakim dan ditashihkannya dari 'Athiy- yah as-a'dl.

terpakai meskipun sesa'at dari umur, kepada yang tidak mendatang- kan faedah lebih pendekatan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla, walaupun ia tahu dan yakin bahwa perbuatan tersebut tidak membawa kepada yang haram.

Maka semua tingkat tadi adalah di luar perhatian ahli fiqih, selain tingkat pertama. Yaitu : mengenai pemeliharaan diri (wara') saksi, hakim dan yang merusakkan 'adalah (keadilan). Menegakkan pemeliharaan diri (wara') dengan yang demikian, tidaklah meniada- kan dosa di akhirat. Bersabda Nabi saw. kepada Wabishah :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لوابصة:  استفت قلبك وإن أفتوك وإن أفتوك

(Istafti qalbaka wa-in aftauka wa-in aftauka wa-in aftauka).
Artinya :"Mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu, walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu, walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu!". (1)
 
Ahli fiqih itu tidak memperkatakan tentang penyakit hati (jiwa) dan cara mengatasinya. Tetapi yang ada, mengenai yang merusakkan 'adalah (keadilan) saja. Jadi seluruh perhatian ahli fiqih, adalah menyangkut dengan dunia, yang dengan dunia itu, ada perbaikan jalan akhirat. Bila sekiranya ia memperkatakan sesuatu dari sifat-sifat hati dan hukum akhirat, adalah termasuk ke dalam percakapannya itu secara sambil lalu. Sebagaimana kadang-kadang termasuk ke dalam percakapannya, persoalan kedokteran, berhitung, ilmu bin tang dan ilmu kalam. Dan sebagaimana termasuknya ilmu falsafah ke dalam tatabahasa dan pantun.

Sufyan Ats-Tsuri, seorang pemuka ilmu dhahir berkata : "Sesungguhnya mempelajari ini (ilmu fiqih), tidaklah termasuk perbekalan akhirat". Bagaimana? Telah sepakat para ahli bahwa kemuliaan pada ilmu itu, ialah pelaksanaannya. Maka bagaimana ia menyangka, dia mengajar hukum dhihar (menyerupakan isteri dengan punggung ibu) hukum al-li'an (mengutuk isteri), hukum as-salam (berjual beli benda yang belum dilihat si pembeli, hanya diterangkan sifat-sifat- nya saja oleh si penjual), sewa-menyewa dan tukar-menukar uang? Dan orang yang mempelajari hal-hal tersebut, untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala itu, adalah gila. Sesungguhnya perbuatan itu adalah dengan hati dan anggota tubuh pada segala amal ta'at. Dan kemuliaan, ialah amalan-amalan itu.
 

    1.Dirawikan Ahmad dari Wabishah.

 
Kalau anda bertanya, mengapa tidak aku samakan antara ilmu fiqih dan ilmu kedokteran, karena ilmu kedokteran juga berhubungan dengan dunia, yaitu kesehatan badan. Dan itu berhubung pula dengan kebaikan agama. Dan penyamaan ini menyalahi dengan ijma' ummat Islam?
 
Ketahuilah! Bahwa penyamaan itu tidaklah suatu keharusan, bahan terdapat perbedaan antara keduanya. Ilmu fiqih itu lebih mulia dari ilmu kedokteran dari tiga segi :
Pertama : fiqih itu ilmu syari'ah, karena dia diperoleh dari kenabian. Lain halnya dengan ilmu kedokteran. Dia itu tidaklah termasuk ilmu syari'ah.
Kedua : ilmu fiqih itu tidak dapat melepaskan diri sekali-kali, oleh seseorang yang menuju ke jalan akhirat, baik dia sehat atau sakit. Sedang ilmu kedokteran tidak diperlukan selain oleh orang sakit. Dan orang sakit itu sedikit.

Ketiga : ilmu fiqih itu berdampingan dengan ilmu jalan akhirat. Karena dia memandang pada amal perbuatan anggota tubuh. Sumber dan tempat terjadinya amal perbuatan anggota tubuh itu, adalah peri laku hati (jiwa). Yang terpuji dari pada amal perbuatan itu, adalah yang timbul dari budi pekerti yang terpuji, yang melepaskan diri dari bahaya di akhirat. Yang tercela adalah timbul dari budi pekerti yang tercela. Dan tidak tersembunyi lagi akan hubungan antara anggota tubuh dengan hati (jiwa) itu.
 
Adapun sehat dan sakit, maka tempat terjadinya, adalah bersih pada sifat badan dan percampuran. Dan itu adalah dari sifat-sifat tubuh, tidak dari sifat-sifat hati. Maka manakala dihubungkan ilmu fiqih kepada ilmu kedokteran, niscaya tampaklah kemuliaan ilmu fiqih itu. Dan apabila dihubungkan ilmu jalan ke akhirat kepada ilmu fiqih, maka tampaklah pula kelebihan ilmu jalan ke akhirat.
 
Jika anda menyatakan : "Uraikanlah kepadaku dengan jelas, ilmu jalan ke akhirat itu, yang menunjukkan isi serta tujuannya, meskipun tidak sampai terperinci benar!".
Maka ketahuilah, bahwa ilmu jalan ke akhirat itu adalah dua macam,

Ilmu mukasyafah dan ilmu mu'amalah.
Yang pertama : ilmu mukasyafah itu ialah ilmu bathin. Dan itulah, kesudahan segala ilmu. Telah berkata setengah arifin (ahli ilmu ma'rifah yaitu ilmu mengenai Allah Ta'ala) : "Orang yang tidak mempunyai bahagian dari ilmu mukasyafah ini, aku takut akan buruk kesudahannya (tidak memperoleh husnul-khatimah). Sekurang-kurang bahagian dari padanya, ialah membenarkan ilmu itu dan tunduk kepada ahlinya".
 
Berkata yang lain : "Orang yang ada padanya dua perkara, tidak akan terbuka baginya sedikitpun dari ilmu ini, yaitu, berbuat bid'ah atau takabur".

Ada lagi yang mengatakan : "Barang siapa mencintai dunia atau selalu memperturutkan hawa nafsu, niscaya ia tidak akan yakin kepada ilmu ini dan mungkin ia yakin kepada ilmu-ilmu yang lain. Sekurang-kurangnya penyiksaan terhadap orang yang meng- ingkarinya, ialah tidak merasakan sedikitpun kelezatan ilmu ini". Ahli yang berkata tadi lalu bermadah :
 
Relalah terhadap orang yang telah hilang dari engkau,
Oleh kehilangannya.
Maka itu dosa,
Ada siksaan padanya ".
Itulah ilmu orang-orang shiddiqin dan muqarrabin. Yakni ilmu mukasyafah. Yaitu : ibarat cahaya yang lahir dalam hati ketika penyucian dan pembersihannya dari sifat-sifat yang tercela. Dari cahaya itu, tersingkaplah beberapa banyak keadaan, yang tadinya namanya pernah didengar. Maka diragukan pengertiannya yang tidak terurai, lagi tidak jelas. Lalu jelaslah ketika itu, sehingga berhasillah ma'rifat yang hakiki dengan Dzat Allah swt. dan sifatNya yang kekal sempurna, perbuatanNya dan hukumNya pada kejadian dunia dan akhirat. Cara penyusunanNya melebihkan akhirat dari dunia, mengenal arti kenabian dan Nabi, arti Wahyu, arti setan, arti kata-kata Malaikat dan setan-setan, cara permusuhan setan dengan manusia, bagaimana kedatangan malaikat kepada Nabi-nabi, bagaimana sampai wahyu itu kepada Nabi-nabi,mengenal alam malakut langit dan bumi, mengenai hati dan betapa benterokan antara bala tentara malaikat dan setan di dalam hati, mengenai perbeda- an antara langkah malaikat dan langkah setan, mengenai akhirat, sorga dan neraka, azab kubur, titian, timbangan, hitungan amal dan maksud dari firman Allah Ta'ala :

ومعنى قوله تعالى:اقرأ كتابك كفى بنفسك اليوم عليك حسيبا= الاسراء

(Iqra' kitaabaka kafaa binafsikal yauma 'alaika hasiiban).
Artinya:" Bacalah kitabmu !!!  Cukuplah pada hari ini, engkau membuat perhitungan atas dirimu sendiri". (S. Al-Isra', ayat 14).
dan maksud firman Allah Ta'ala :

وَإِنَّ الدَّارَ الآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

(Wa innad daaral aakhirata lahiyal hayawaanu lau-kaanuu yala-muim).
Artinya:"Dan bahwa kampung akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya kalau mereka mengetahui". (S. AI-Ankabut, ayat 64).
Dan arti berjumpa dengan Allah Ta'ala dan memandang kepada wajahNya Yang Maha Mulia, arti dekat dengan Allah dan bertempat disampingNya, arti memperoleh kebahagiaan dengan menemani alam arwah, Malaikat dan Nabi-nabi arti berlebih-kurangnya pangkat ahli Sorga, sehingga mereka melihat satu sama lain, seumpama menampak bintang bersinar dilembaian langit dan lain-lainnya yang panjang kalau dibentangkan. Karena manusia, mengenal pengertian hal-hal yang tersebut di atas sesudah membenarkan pokok-pokoknya, mempunyai bermacam-macam tingkat. Sebagian mereka berpendapat, bahwa semuanya itu adalah contoh-contoh. Dan yang disediakan oleh Allah untuk hambaNya yang sholih, ialah : sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan terlintas di dalam hati manusia. Dan tak adalah serta makhluk itu Sorga, selain dari sifat-sifat dan nama-nama.
 
Setengah berpendapat bahwa sebahagian adalah contoh-contoh dan sebahagian lagi bersesuaian dengan hakikat yang sebenarnya yang dipahami dari kata-katanya. Demikian juga, sebahagian mereka berpendapat, bahwa kesudahan mengenai Allah Ta'ala ialah mengakui kelemahan diri dari pada mengenalNya. Sebahagian lagi mendakwakan beberapa hal yang agung, tentang mengenai Allah Ta'ala. Ada lagi yang mengatakan, bahwa batas mengenai Allah Ta'ala itu, ialah apa yang sampai kepada aqidah orang kebanyakan. Yaitu beriman ; bahwa Allah Ta'ala itu ada, maha mengetahui, maha kuasa, mendengar, melihat dan berkata-kata.
 
Kami maksudkan dengan ilmu mukasyafah itu ialah bahwa terangkat tutup yang menutupi sehingga jelaslah kenyataan kebenaran Allah pada semuanya itu, dengan sejelas-jelasnya, laksana mata memandang, yang tak diragukan lagi.
 
Hal yang demikian itu mungkin pada diri (jauhar) manusia, sekiranya tidak cermin hatinya telah tebal dengan karat dan kotor dengan kotoran dunia.
 
Sesungguhnya kami maksudkan dengan ilmu jalan ke akhirat, ialah ilmu mengenai cara menggosok cermin tersebut, dari kotoran-kotoran tadi, yang menjadi dinding (hijab) dari pada Allah Ta'ala, daripada mengenal sifat-sifat dan af'alNya. Membersihkan dan mensucikannya ialah dengan mencegah diri dari menuruti hawa nafsu dan berpegang teguh dalam segala hal, kepada ajaran Nabi-Nabi as.
 
Maka menurut apa yang cemerlang dari hati dan berbetulan kearah kebenaran, niscaya bergemilanglah hakikatnya. Dan jalan untuk itu, tak lain dari latihan yang akan datang perinciannya nanti pada tempatnya dam dengan ilmu dan mengajarinya.
 
Inilah ilmu yang tidak dituliskan dalam kitab-kitab dan tidak diperkatakan oleh orang-orang yang telah dianugerahi oleh Allah Ta'ala dengan sesuatu dari ilmu ini, selain bersama ahlinya. Yaitu dengan bersama-sama bertukar-pikiran dan dengan cara rahasia.

inilah ilmu tersmbunyi yang dimakudkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dengan sabdanya :
الذي أراده صلى الله عليه وسلم بقوله:  إن من العلم كهيئة المكنون لا يعلمه إلا أهل المعرفة بالله تعالى فإذا نطقوا به لم يجهله إلا أهل الاغترار بالله تعالى فلا تحقروا عالما آتاه الله تعالى علما منه فإن الله عز وجل لم يحقره إذ آتاه إياه
(Innaa minal 'ilmi kahaiatil maknuuni laa ya'lamuhu illaa ahlul ma'rifati billaahi ta'aalaa. Fa-idzaa nathaquu bihii lam yjuhalhu illaa ahlul ightiraari billaahi ta'aalaa. Falaa tahqiruu 'aaliman aataa- hullaahu ta'aalaa 'ilman minhu, fa-innallaaha 'azza wa jalla lam yah- qirhu idz-aataahu iyyaah).

Artinya :"Sesungguhnya sebahagian dari ilmu itu seakan-akan seperti keadaan tertutup yang tidak diketahui, selain oleh ahli yang mengenalnya (ma'rifat) akan Allah Ta'ala. Apabila mereka mempercakapkannya,........................ maka tidak ada yang tak mengerti. selain dari orang-orang yang telah tertipu, jauh dari Allah Ta'ala. Dari itu janganlah kamu hinakan seorang yang berilmu, yang dianugerahi oleh Allah Ta'ala ilmu tsb. Karena Allah Ta'ala sendiri tidak menghinakannya karena telah menganugerahinya ilmu tadi". (1)
 
Yang kedua : ilmu mu'amalah, ialah ilmu perihal hati (jiwa). Apa yang terpuji dari padanya, seperti sabar, syukur, takut, harap, rela, zuhud, taqwa, sederhana, pemurah, mengenai nikmat Allah Ta'ala dalam segala keadaan, ihsan, baik sangka, baik budi, bagus pergaulan, benar&ikhlas. Maka mengetahui hakikat hal keadaan ini, batas-batasnya dan sebab-sebabnya yang diusahakan,hasil, tanda dan cara mengobati yang lemah dari padanya, sehingga menjadi kuat dan yang hilang sehingga kembali, adalah termasuk sebahagian dari ilmu akhirat.
 
Adapun yang tercela yaitu : takut miskin, marah kepada taqdir, menokoh, dengki, busuk hati, menipu, mau tinggi, suka di puji, mencintai lama hidup di dunia untuk bersenang-senang, takabur, riat marah, keras kepala, suka bermusuhan. amarah, loba, kikir, gembira tidak pada tempatnya, angkuh, congkak, bangga dengan kekayaan ditangannya, menghormati orang kaya, menghina orang miskin, gila hormat dan pangkat, suka berlomba secara tidak jujur, menyombong diri menerima kebenaran ; suka campur soal yang tidak penting, suka banyak bicara, memuji diri, menghias-hiasi budi pekerti, berminyak air, ujub, asyik memperkatakan kekurangan orang melupakan kekurangan diri sendiri, hilang perasaan gun- dah dan takut dari hati, sangat menekan perasaan jiwa apabila tersinggung, lemah hati mencari kebenaran, mengambil teman dhahir dari musuh bathin, merasa aman dari kemurkaan Allah Ta'ala, pada menarik apa saja dari pemberianNya, bersandar kepada ta'at, murka, khianat, tokoh-menokoh, panjang angan-angan, kesat dan kasar hati, gembira dengan dunia dan berduka cita atas hilangnya, berjinak hati dengan makhluk dan merasa sepi bercerai dengan mereka, kaku, ceroboh, tergopoh-gopoh, kurang malu dan kurang belas kasihan..
 
Inilah dan yang seumpama dengan ini, dari sifat-sifat hati (jiwa), menjadi sumber perbuatan keji dan tempat tumbuh perbuatan terlarang-

      1.Dirawikan Abu Abdirrahman As-Salami dari Abu Hurairah, isnad dla'if.

Lawannya adalah budi pekerti yang terpuji, tempat memancar ta'at dan pendekatan diri kepada Allah Ta'ala.

Maka mengetahui batas-batas hal ini, hakikat, sebab, hasil dan pengobatannya adalah ilmu akhirat dan fardiu 'ain menurut fatwa ulama-ulama akhirat. Orang yang membuang muka dari ilmu tersebut, adalah binasa dengan kekuasaan Raja-diraja di akhirat, sebagaimana orang yang membuang muka dari segala pekerjaan dhahir, adalah binasa dengan kekuasaan pedang raja-raja dunia, berdasarkan fatwa ahli fiqih dunia.
Maka pandangan ulama fiqih mengenai fardlu 'ain itu, adalah bersandarkan kepada kepentingan dunia, sedang ini, bersandar kan kepada kepentingan akhirat. Bila ditanyakan kepada seorang ahli fiqih, tentang arti dari arti-arti ini, umpamanya tentang ikhlas atau tentang tawakkal atau tentang menjaga diri dari sifat ria, maka ia akan tertegun, sedangkan karena fardiu 'ainnya, bila diabai kan akan mendatangkan kebinasaannya di akhirat. Tetapi coba tanyakan tentang li'an,dhihar,berlomba kuda dan memanah, niscaya akan diletakkannya dihadapanmu berjilid-jilid buku dengan terperinci yang mendalam, yang menelan banyak waktu, pada hal sedikitpun tidak diperlukan. Kalaupun ada yang diperlukan, niscaya tidaklah kosong negeri, dari orang yang menyanggupinya. Dan cukuplah letih dan payah padanya, lalu senantiasa ia berpayah-payah padanya, malam dan siang, pada menghafal dan mempelajarinya. Dan melupakan dari apa yang penting dalam agama.
Apabila didesak, maka ahli fiqih itu menjawab : "Aku menghabiskan waktu mempelajarinya karena fiqih itu ilmu agama dan fardlu kifayah". Ia mengelabui dirinya dan orang lain pada mempelajarinya.

Orang cerdik itu tahu bahwa kalau adalah maksudnya melaksanakan perintah pada fardlu kifayah, tentu didahulukannya fardlu 'ain. Bahkan juga akan didahulukannya banyak dari fardlu-fardlu kifayah yang Iain dari ilmu fiqih itu.

Berapa banyak negeri yang tidak berdokter, selain dari orang zimmi (orang kafir yang dilindungi pemerintah Islam). Orang zimmi itu menurut hukum fiqih, tidak dapat diterima menjadi saksi mengenai hal yang menyangkut dengan kedokteran.
 
Kemudian, tidak seorangpun dari orang Islam, kami lihat bekerja dalam lapangan kedokteran. Mereka berlomba-lomba kepada ilmu fiqih, lebih-lebih masalah khilafiah dan perdebatan. Negeri penuh dengan ulama fiqih, yang bekerja mengeluarkan fatwa dan memberi penjawaban dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Wahai kiranya, bagaimana ahli-ahli fiqih agama, memurahkan waktunya mengerjakan fardiu kifayah yang telah dikerjakan oleh suatu golongan. Dan mengabaikan yang tak ada orang bangun mengerjakannya. Adakah ini mempunyai sebab tertentu? Hanya pengetahuan kedokteran itu, tidak mudah menjadi pengurus harta wakaf, harta wasiat, pengawas harta anak yatim, menjadi hakim dan pemerintah, terkemuka dari teman sejawat dan berkuasa menghantam lawan.
 
Benarlah kiranya, telah terinjak-injak ilmu agama dengan tingkah laku ulama jahat. Maka Allah Ta'ala tempat bermohon pertolongan. KepadaNya tempat berlindung, kiranya 'dilindungiNya kita dari penipuan ini, yang membawa kepada amarahNya dan menertawakan setan.
 
Ahli wara' dari ulama dhahir, mengaku kelebihan ulama bathin dan yang mempunyai mata hati. Imam Asy-Syafi'i ra. pernah duduk dihadapan Syaiban Pengembala, seperti duduknya seorang anak kecil di maktab,seraya bertanya: "Bagaimana membuat itu dan itu?"

Maka dikatakan kepada Imam Asy-Syafi'i : "Seperti engkau bertanya pada Badui ini?". Maka menjawab Imam Syafi'i : "Sesungguhnya ini sesuai dengan apa yang kami lupakan".

Imam Ahmad bin Hanbal ra. dan Yahya bin Mu'in selalu pergi menjumpai Ma'ruf Al-Karkhi, padahal dalam ilmu dhahir tak adalah orang lain yang setingkat dengan keduanya. Imam Ahmad dan Yahya menanyakan : "Bagaimana?". Sedang Rasulullah saw. pernah bersabda, ketika ditanyakan : "Apa yang kami perbuat, apabila datang kepada kami suatu persoalan, yang kami tidak peroleh dalam Kitab dan Sunnah?".

maka Nabi صلى الله عليه وسلم: menjawab :

سلوا الصالحين واجعلوه شورى بينهم
(Salush shaalihiina waj-'aluuhu syuuraa bainahum).
Artinya :"Tanyakanlah kepada orang-orang sholih dan selesaikanlah dengan jalan bermusyawarah dengan mereka". (1)

    1.Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas, dipandang lemah oleh kebanyakan ahli hadits.

 
Karena itulah, dikatakan bahwa ulama dhahir itu adalah hiasan bumi dan kerajaan. Dan ulama bathin adalah hiasan langit dan alam malakut. Berkata Al-Junaid ra. : "Bertanya As-Sirri guruku- kepadaku pada suatu hari : "Apabila engkau berpindah daripadaku, maka dengan siapa engkau bercakap-cakap?". Lalu aku jawab : "Dengan Al-Muhasibi". Maka ia berkata : "Ya, betul! Ambillah dari ilmunya dan adab kesopanannya! Tinggalkanlah dari engkau pemecahannya ilmu kalam dan serahkan itu kepada para ulama ilmu kalam sendiri (ulama mutakallimin)! '. Kemudian tatkala aku berpisah, aku mendengar dia mengatakan : "Kiranya Allah menjadikan engkau seorang ahli hadits yang sufi. Tidak dijadikan-Nya engkau, seorang sufi yang ahli hadits". Diisyaratkan oleh As-Sirri, bahwa orang yang memperoleh hadits dan ilmu, kemudian bertasawwuf, maka akan memperoleh kemenangan. Dan orang yang bertasawwuf sebelum berilmu maka akan membahayakan bagi dirinya.

Kalau anda bertanya : "Mengapa anda tidak membentangkan ilmu kalam dan falsafah dalam bermacam-macam ilmu itu dan anda terangkan bahwa keduanya itu tercela atau terpuji?".

Ketahuilah, bahwa hasil yang dilengkapi padanya ilmu kalam, ialah dalil-dalil yang bermanfa'at. Maka Al-Quran dan hadits itu melengkapi padanya. Yang di luar dari Al-Qur'an dan Sunnah, maka adakalanya pertengkaran yang tercela dan ini termasuk perbuatan bid'ah, yang akan dijelaskan nanti. Dan adakalanya permusuhan yang menyangkut dengan partai-partai yang berlawanan. Dan merentang panjang dengan mengambil kata-kata, yang kebanyakannya batil dan keliru, dipandang buruk oleh pribadi yang baik dan ditolak oleh telinga yang sehat. Dan sebahagiannya lagi campuran pada yang tak ada hubungannya dengan agama. Bahkan tak dikenal pada masa pertama dari agama.
Dan adalah turut campur padanya dengan keseluruhan termasuk bid'ah. Tetapi sekarang, hukumnya telah berubah. Karena telah muncul bid'ah yang menyeleweng dari kehendak Al-Quran dan Sunnah. Dan telah tampil suatu golongan yang mencampuradukkan barang yang tak jelas. Lalu mereka menyusun kata-kata yang tersusun, sehingga yang ditakuti itu, memperoleh keizinan karena terpaksa. Bahkan telah menjadi sebagian dari fardlu kifayah.
Yaitu kadar yang dihadapi oleh pembuat bid'ah, apabila bermaksud menyerukan orang kepada bid'ah.Dan yang demikian kepada batas yang tertenttu akan kami sebutkan nanti pada bab yang akan datang, insya Allah Ta'ala
 
Adapun falsafah, maka tidaklah ia suatu ilmu yang berdiri sendiri. Tetapi terdiri dari empat bahagian :
 
Pertama ilmu ukur dan ilmu berhitung. Keduanya mubah (dibolehkan) sebagaimana telah diterangkan. Dan tidak dilarang kedua ilmu itu, kecuali orang yang ditakuti akan melampaui kepada ilmu yang tercela. Kebanyakan orang yang bergiat dalam lapangan ilmu yang dua tadi, lalu keluar kepada bid 'ah. Dari itu orang yang lemah, harus dijaga dari kedua ilmu tadi, bukan karena'ain (diri) keduanya, sebagaimana dijaga anak kecil dari tepi sungai, karena takut jatuh ke dalam sungai. Dan sebagaimana dijaga orang baru masuk Islam,daripada bercampur-baur dengan orang-orang kafir. Karena ditakuti mem- bahayakan kepadanya. Sedang orang yang kuat, tak akan tertarik kepada bercampur dengan mereka.
 
Kedua ilmu mantiq (ilmu logika), yaitu membahas cara membuat dalil dan syarat-syaratnya, membuat batas dalil dan syaratnya. Dan keduanya itu masuk dalam ilmu kalam.
 
Ketiga ilmu keTuhanan. Yaitu membahas tentang dzat Allah Ta'ala dan sifatNya. Ini termasuk juga dalam ilmu kalam.
 
Para filosuf tidak menyendiri mengenai ilmu keTuhanan dengan bentuk suatu ilmu yang lain. Tetapi mereka menyendiri dengan bentuk aliran-aliran (madzhab-madzhab). Sebahagian dari padanya adalah kufur dan sebahagian lagi adalah bid'ah. Sebagaimana aliran Mu'tazilahpun tidaklah merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Tetapi penganut-penganutnya adalah suatu golongan dari ulama mutakallimin (ulama ilmu kalam). Dan ahli pembahasan dan penyelidikan itu, menyendiri dengan madzhab-madzhab yang batil. Maka seperti itu pulalah filosuf-filosuf. Keempat ilmu alam. Sebahagian daripadanya menyalahi syara' dan agama benar. Itu adalah kebodohan, bukan ilmu pengetahuan, sehingga dimasukkan dalam bahagian-bahagian ilmu.
 
Sebahagian lagi pembahasan, tentang sifat-sifat jizim (benda yang bertubuh) dan kegunaannya, cara berubah dan bertukar bentuknya.
 
Dan itu menyerupai dengan pandangan para dokter. Bedanya, dokter itu memperhatikan pada tubuh manusia khususnya, dari segi ia sakit dan sehat. Sedang para ahli ilmu alam itu memperhatikan pada seluruh benda yang bertubuh (al-ajsam), dari segi ia berubah dan bergerak.
 
Tetapi ilmu kedokteran mempunyai kelebihan dari ilmu alam. Yaitu ilmu alam itu memerlukan kepada ilmu kedokteran. Dan ilmu para ahli ilmu alam itu, tidak diperlukan kepadanya.
 
Jadi, ilmu kalam itu termasuk dalam jumlah usaha yang wajib secara kifayah, untuk menjaga hati orang awwam, dari pengkhayalan ahli bid'ah. Yang demikian itu terjadi, dengan terjadinya bid'ah, sebagaimana datangnya keperluan manusia menyewa pengawal dalam perjalanan hajji, dengan adanya kedzaliman dan perampokan di jalan yang dilakukan orang Arab. Kalau orang Arab itu telah meninggalkan permusuhan, maka tidaklah menyewa pengawal itu menjadi syarat dalam perjalanan hajji.
 
Maka karena itulah, kalau tukang bid'ah itu telah meninggalkan perkataan yang sia-sia, maka tak perlu lagi menambah dari apa yang ada pada masa shahabat Nabi ra.
Maka ahli ilmu kalam hendaklah mengetahui akan batasnya dalam agama. Dan kedudukan ilmu kalam dalam agama, sebagai kedudukan pengawal dalam perjalanan hajji. Apabila pengawal itu tidak melakukan pengawalan, niscaya dia tidak termasuk dalam jumlah orang hajji. Dan ahli ilmu kalam apabila tidak melakukan tugasnya untuk berdebat & mempertahankan pendirian, tidak menjalani jalan akhirat dan tidak bekerja mendidik dan memperbaiki hati, maka tidaklah sekali-kali dia tergolong dalam jumlah ulama agama. Dan tidaklah pada ahli ilmu kalam itu agama, selain aqidah yang bersekutu padanya, orang kebanyakan yang lain. 'Aqidah itu termasuk dalam golongan amal perbuatan dhahir dari hati dan lisan. Dan bedanya ahli ilmu kalam dari orang awwam, ialah dengan perbuatan berdebat dan penjagaan.
 
Adapun mengenal Allah Ta'ala, sifat dan af'al-Nya serta sekalian yang telah kami isyaratkan dalam ilmu mukasyafah, maka tidaklah diperoleh dari ilmu kalam. Malah hampir adalah ilmu kalam itu menjadi hijab dan penghalang. Dan sesungguhnya, sampai kepadanya, ialah dengan mujahadah (bersungguh-sungguh hati) yang dijadikan oleh Allah sebagai mukaddimah bagi petunjuk, dengan firman-Nya :

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Surah Al Ankabut Ayat 69
(Wal ladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa wa innal laaha lama'al muhsiniin).Artinya :"Mereka yang bersungguh-sungguh pada Kami, maka akan Kami tunjuki mereka akan jalan Kami dan sesungguhnya Allah beserta orang yang berbuat baik ". (S.Al-Ankabut, ayat 69).
 
Jika anda berkata, bahwa aku telah berulang kali mengatakan akan batas tugas ahli ilmu kalam, kepada menjaga 'aqidah orang awwam dari gangguan pembuat bid'ah sebagaimana batas tugas pengawal, ialah menjaga pakaian jama'ah hajji dari gangguan orang Arab dan berulang-kali aku mengatakan akan batas tugas ahli fiqih, ialah menjaga undang-undang (qanun), yang dapat mencegah penguasa, kejahatan sebahagian musuh dari sebahagian yang lain.
 
Ini dua tingkat yang menurun, dengan menyandarkan kepada ilmu agama. Dan ulama ummat yang terkenal dengan keutamaan, adalah mereka, para ulama fiqih dan ulama kalam. Merekalah makhluk yang utama pada sisi Allah Ta'ala. Maka bagaimanakah menurun- nya derajat mereka kepada kedudukan yang rendah itu, dengan menyandarkan kepada ilmu agama?
 
Maka ketahuilah, bahwa orang yang mengenal kebenaran dengan orang-orang adalah orang yang heran dalam keheranan kesesatan. Dari itu kenalilah kebenaran, niscaya engkau akan mengenai ahli kebenaran itu, kalau engkau berjalan menuju jalan kebenaran. Jika engkau padakan dengan taqlid dan melihat kepada yang termasyhur dari tingkat-tingkat keutamaan diantara manusia, maka janganlah engkau melupakan para shahabat Nabi saw. dan ketinggian kedudukannya. Telah sepakat mereka, yang telah aku bentangkan, dengan menyebutkan mereka dari para ulama fiqih dan ilmu kalam, atas terkemukanya para shahabat itu. Dan sesungguhnya tidak terdapat tujuan pribadi mereka pada agama. Dan tidak dihancurkan debu jejak mereka. Dan tidaklah terkemuka mereka dengan ilmu kalam dan fiqih, akan tetapi dengan ilmu akhirat dan jalan menuju kepadanya.
ما فضل أبو بكر رضي الله عنه الناس بكثرة صيام ولا صلاة ولا بكثرة رواية ولا فتوى ولا كلام ولكن بشيء وقر في صدره Tidaklah Abu Bakar ra. melebihi manusia lain lantaran banyak puasa, shalat, banyak meriwayatkan hadits, fatwa dan kata-kata. Tetapi kelebihannya adalah karena sesuatu yang mulia di dalam dadanya, sebagaimana diakui oleh Nabi saw. Sendiri. (1)
 

    1.Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Bakar bin Abdullah Al-Maini dan kata Al-lraqi, aku tidak mendapatinya marfu'.

 
Dari itu hendaklah engkau berusaha mencari rahasia itu! Itulah jauhar yang bernilai dan mutiara yang tersimpan rapi. Tinggalkan lah akan apa yang bersesuaian engkau dengan kebanyakan manusia terhadap hal itu, terhadap pengagungan dan penghormatannya. Karena sebab-sebab dan penarik-penarik, yang akan panjang perinciannya.
 
Rasulullah saw. telah berpulang dengan meninggalkan beribu-ribu orang shahabat ra. Semuanya ulama billah. Mereka dipuji oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Tak ada seorangpun dari mereka yang tahu dengan baik tentang ilmu kalam. Dan tidak menegakkan dirinya menjadi juru fatwa, kecuali beberapa belas orang saja. Diantaranya ialah : Ibnu Umar ra.
 
Apabila Ibnu Umar ra. dimintakan fatwanya, lalu ia menjawab kepada peminta itu : "Pergilah kepada amir Anu yang bertanggung jawab segala urusan manusia dan letakkanlah dipundaknya". Kata-kata itu menunjukkan bahwa mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan dan hukum-hukum, adalah termasuk mengikuti kekuasaan dan pemerintahan.

Ketika Umar ra. wafat, maka berkata Ibnu Mas'ud : "Telah meninggal sembilan persepuluh (9/10) ilmu".
 
Lalu orang bertanya kepadanya : "Mengapakah anda berkata demikian, padahal di tengah-tengah kita masih banyak shahabat?" Ibnu Mas'ud menjawab : "Aku tidak maksudkan ilmu fatwa dan hukum. Sesungguhnya aku maksudkan ilmu tentang Allah Ta'ala. Adakah anda berpendapat bahwa maksud Ibnu Mas'ud itu ilmu kalam dan ilmu berdebat? Kalau begitu mengapa anda tidak berlomba-lomba mempelajari ilmu tadi yang hilang sembilan persepuluh dari padanya, dengan wafatnya Umar ra. ? Dan Umarlah yang menutup pintu ilmu kalam dan pertengkaran dan memukul Shabigh bin 'Isi dengan cemeti, tatkala memajukan suatu pertanyaan kepadanya tentang bertentangan dua ayat dalam Kitabullah (Al-Qur'an) dan memboikotinya serta menyuruh orang  banyak membekotinya (tidak bercakap-cakap dengan dia).
Adapun kata anda bahwa yang termasyhur dari ahli ilmu, ialah ahli ilmu fiqih dan ahli ilmu kalam, maka ketahuilah bahwa kelebihan yang diperoleh mereka pada sisi Allah itu adalah satu hal. Dan kemasyhuran yang diperolehnya pada manusia itu satu hal yang lain.

Sesungguhnya kemasyhuran Abu Bakar ra. adalah karena dia khafilah. Sedang kelebihan yang diperolehnya adalah karena suatu sirr (rahasia) yang mulia di dalam hatinya.
 
Kemasyuran Umar ra. adalah disebabkan siasah (politik). Dan kelebihannya adalah disebabkan ilmu mengenal Allah, yang mati sembilan persepuluh dari padanya, dengan kematiannya. Dan disebabkan maksudnya mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dalam pemerintahan,keadilan dan kasih-sayangnya kepada makhluk Allah.
 
Dan itu adalah keadaan bathin dalam rahasia dirinya. Adapun segala perbuatan dhahiriahnya yang lain, maka tergambar timbulnya dari mencari kemegahan, nama, ingin terkenal dan gemar pada kemashuran itu. Maka adalah kemasyhuran itu, pada yang membinasakan. Dan kelebihan itu, mengenai hal rahasia yang tidak dilihat oleh seorang manusiapun.
 
Maka para ahli ilmu fiqih dan ilmu kalam, adalah seperti khalifah, kadli (hakim) dan ulama. Mereka itu terbagi-bagi. Ada diantaranya yang dikehendaki oleh Allah ta'ala dengan ilmunya, fatwanya dan pertahanannya akan Sunnah Nabi. Dan ia tidak mencari dengan yang demikian itu, keridaan dan kemasyhuran nama. Merekalah yang memperoleh kerelaan Allah. Dan kelebihan mereka pada sisiNya, karena telah berbuat sepanjang ilmu mereka. Dan karena kehendak mereka akan wajah Allah dengan fatwa dan pandangannya.
 
Tiap-tiap ilmu ada amal perbuatannya. Yaitu perbuatan yang diusahakan. Dan tidaklah tiap-tiap amal perbuatan itu bernama ilmu. Seorang tabib (dokter) sanggup mendekatkan dirinya kepada Allah Ta'ala dengan ilmunya. Maka ia memperoleh pahala atas ilmunya itu dari segi, bahwa ia berbuat karena Allah swt. Sultan (penguasa) menjadi perantaraan antara sesama makhluk Allah. Maka ia memperoleh kerelaan dan pahala daripada Allah swt. Tidak dari segi pertanggung-jawabannya dengan ilmu agama, akan tetapi dari segi ia mengikuti perbuatan, yang maksudnya, mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan ilmunya.
 
Bahagian-bahagian yang mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala itu, tiga : ilmu semata-mata, yaitu ilmu mukasyafah. Amal semata-mata. yaitu seperti, keadilan bagi seorang raja dan perhatiannya akan kepentingan rakyat. Dan yang tersusun dari amal dan ilmu. Yaitu : ilmu jalan ke akhirat. Yang empunya ilmu tersebut , adalah sebagian dari ulama dan orang-orang yang beramal. Maka perhatikanlah kepada dirimu sendiri! Adakah engkau pada hari qiamat nanti, dalam golongan ulama Allah atau yang beramal pada jalan Allah atau dalam golongan kedua-duanya?
 
Maka jadikanlah bahagianmu bersama kedua golongan itu Maka inilah yang lebih penting kepadamu daripada turut-turutan, untuk semata-mata kemasyhuran, seperti kata orang :
Ambillah apa yang engkau lihat,
Tinggalkanlah sesuatu yang didengar.
Untuk mengetahui matahari terbit,
engkau memerlukan bintang Zuhal

Akan kami nukilkan dari riwayat hidup ulama-ulama fiqih terdahulu, di mana anda akan mengetahui nanti, bahwa orang-orang yang menganut madzhab mereka, telah berbuat dhalim terhadap mereka. Dan menjadi musuh terbesar dari ulama-uiama itu pada hari qiamat.
Para ulama yang terdahulu itu tak bermaksud dengan ilmunya, selain wajah Allah Ta'ala. Dari hal ikhwal mereka, dapat dipersaksikan, apa yang menjadi tanda-tanda ulama akhirat, sebagaimana akan diterangkan nanti pada Bab Tanda-tanda Ulama Akhirat. Mereka tidaklah semata-mata untuk ilmu fiqih, tetapi mereka berbuat dan memperhatikan akan ilmu yang berhubungan dengan hati. Bahkan mereka telah dipalingkan dari mengajar dan mengarang, oleh apa yang telah memalingkan para shahabat dahulu, dari mengarang dan mengajari fiqih. Padahal mereka itu adalah ulama fiqih yang berdiri sendiri dengan ilmu fatwa, Yang memalingkan dan yang mengajak itu diyakini dan tak ada perlunya disebutkan di sini.
 
Sekarang akan kami sebutkan kata-kata ulama fiqih Islam, di mana akan anda ketahui bahwa apa yang kami sebutkan itu, tidaklah mengecam mereka. Tetapi, adalah kecaman kepada orang-orang yang menyatakan dirinya mengikuti dan menganut madzhab mereka. Karena orang itu, menyalahi dalam perbuatan dan perjalanan dengan para ulama fiqih itu.
 
Adapun ulama fiqih yang menjadi pemimpin ilmu fiqih dan pahlawan ummat, yakni mereka yang banyak pengikutnya pada madzhab-madzhab itu, adalah lima, yaitu : Asy-Syafi'i, Malik, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsuri Rahmat Allah kiranya kepada mereka sekalian. Masing-masing mereka adalah 'abid (kuat beribadah), zahid. (tidak terpengaruh oleh dunia), 'alim dengan semua ilmu akhirat, paham akan kepentingan ummat di dunia dan menghendaki dengan fiqihnya itu, akan wajah Allah Ta 'ala.
 
Ini lima perkara, di mana yang diikuti oleh ulama fiqih sekarang dari keseluruhannya, hanya satu perkara saja. Yaitu : memberi tenaga dan bersangatan membuat fiqih itu bercabang-cabang. Karena yang empat perkara itu, tidaklah layak melainkan untuk akhirat. Dan yang satu perkara itu adalah untuk dunia dan akhirat. Jikalau dimaksudkan dengan dia itu akhirat, maka sedikit lah kepentingannya untuk dunia.
Ulama-ulama fiqih itu memberi tenaga dan mendakwakan dirinya serupa dengan imam-imam besar itu. Alangkah janggalnya, membandingkan malaikat dengan tukang-tukang besi'..

Marilah sekarang kami bentangkan hal-ikhwal mereka, yang menunjukkan kepada empat perkara tadi. Karena pengetahuan mereka tentang fiiqh itu, terang.
Adapun Imam Asy-Syafi'i ra., maka yang menunjukkan ia seorang 'abid adalah riwayat yang menerangkan bahwa ia membagi malam, tiga bahagian : sepertiga untuk ilmu, sepertiga untuk ibadah dan sepertiga lagi untuk tidur.
Berkata Ar-Rabi' : "Adalah Imam Asy-Syafi'i ra. mengkhatamkan (menamatkan bacaan) Al-Qur'an dalam bulan Ramadlan, enam puluh kali. Semuanya itu dalam shalat.

Al-Buaithi salah seorang shahabatnya, mengkhatamkan Al-Qur'an dalam bulan Ramadlan, tiap-tiap hari sekali.
Berkata AI-Hasan Al-Karabisi : "Aku bermalam bersama Imam Asy-Syafi'i bukan satu malam. Dia melakukan shalat hampir sepertiga malam. Tidak aku lihat dia melebihkan dari lima puluh ayat. Apabila dia perbanyak maka sampai seratus ayat. Apabila ia membaca ayat rahmat lalu berdo'a kepada Allah Ta'ala untuk dirinya sendiri dan untuk sekalian kaum muslimin dan mu'minin. Dan apabila ia membaca ayat 'azab, lalu memohonkan perlindung- an dan kelepasan daripadanya untuk dirinya dan untuk orang mu'min. Seakan-akan ia mengumpulkan harap dan bersama dengan takut.
Lihatlah, betapa dibuktikan oleh kependekan bacaannya atas 50 ayat, kepada melaut dan mendalam pemahamannya akan rahasia yang terkandung di dalam Al-Qur'an.

Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata : "Aku tidak pernah kenyang selama 16 tahun. Karena kekenyangan itu memberatkan tubuh, mengesatkan hati, menghilangkan cerdik, menarikkan tidur dan melemahkan orang yang kenyang itu dari beribadah".
Maka lihatlah kepada hikmahnya pada menyebutkan bahaya-bahaya kekenyangan! Kemudian mengenai kesungguhannya beribadah, karena ia meninggalkan kekenyangan itu karena ibadah. Dan pundak beribadah itu, ialah menyedikitkan makan.

Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. lagi : "Tidak pernah aku bersumpah dengan nama Allah, baik dalam hal yang benar apalagi bohong".
Lihatlah betapa hormat dan tunduknya kepada Allah Ta'ala dan dibuktikan oleh demikian atas pengetahuannya dengan kebesaran Allah swt.!.
Ditanyakan Imam Asy-Syafi'i ra. tentang suatu masalah, maka ia diam. Ketika ditanyakan lagi". Mengapa tuan tidak menjawab? Kiranya Allah merahmati tuan".
Maka beliau menjawab : "Aku berpikir, sehingga aku mengetahui, mana yang lebih baik, pada diamku atau jawabku". Lihatlah, betapa diawasinya lidahnya, sedang lidah itu adalah anggota badan yang paling berkuasa bagi ulama fiqih dan paling payah mengekang dan menundukkannya. Dengan itu, jelaslah bahwa ia tidak berkata atau diam kecuali untuk memperoleh keutamaan dan pahala.
Berkata Ahmad bin Yahya bin Al Wazir: "Pada suatu hari keluarlah Imam Asy-Syafi'i ra. pergi ke pasar lampu, lalu kami ikuti dia dari belakang. Tiba-tiba ada orang yang membodohkan seorang ahli ilmu. Maka Imam Asy-Syafi'i menoleh kepada kami seraya berkata : "Bersihkanlah pendengaranmu dari mendengar kata-kata keji seperti kamu membersihkan lidahmu dari mengucapkannya. Sesungguhnya si pendengar adalah sekutu dari yang berkata. Orang yang lemah pikiran, melihat kepada barang yang sangat buruk di dalam wadahnya. Maka ia berusaha menuangkannya ke dalam wadahmu. Kalau ditolak perkataan orang yang lemah pikiran itu, maka akan berbahagialah yang menolaknya, sebagaimana akan celakalah yang mengatakannya".

Berkata Imam Asy-Syafi'i ra.: "Seorang filosuf menulis surat kepada seorang filosuf. Diantara isinya yaitu : "Engkau telah mendapat ilmu, maka janganlah engkau kotorkan ilmumu itu dengan kegelapan dosa. Nanti engkau akan tinggal dalam kegelapan, pada hari, di mana ahli ilmu bekerja dengan nur ilmunya".
Adapun zuhudnya maka berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Barangsiapa mendakwakan bahwa ia mengumpulkan antara cinta kepada  dunia dan cinta kepada pencipta dunia dalam hati nuraninya,maka dia itu bohong".                                                       
Berkata Al-Humaidi : "Imam Asy-Syafi'i ra. pergi ke Yaman bersama beberapa orang pembesar negeri. Lalu ia berangkat ke Makkah dengan membawa wang sepuluh ribu dirham. Di luar kota Makkah dibangunnya suatu tempat tinggal. Maka berdatanganlah manusia berkunjung kepadanya. Dia terus menetap di tempat itu sampai uang itu habis dibagi-bagikannya".

Pada suatu kali, Imam Asy-Syafi'i ra. keluar dari kamar mandi umum, lalu diberikannya wang yang banyak kepada penjaga kamar mandi itu. Pada suatu kali tongkatnya jatuh dari tangannya,lalu tongkat itu diserahkan orang kepadanya. Maka untuk berterima kasih kepada orang itu, lalu Imam Asy-Syafi'i ra. Memberikan uang 50 dinar.

Kemurahan hati Imam Asy-Syafi'i ra. adalah lebih terkenal dari apa yang diceriterakan. Pangkal zuhud ialah kemurahan hati. Karena orang yang mencintai sesuatu benda, akan memegangnya erat-erat. Tidak ingin berpisah daripadanya. Maka tidak mau berpisah dari harta, selain orang yang telah kecillah dunia pada pandangannya.Dan itulah arti zuhud.
Betapa kuat zuhudnya dan sangat takutnya kepada Allah Ta'ala serta kesungguhan kemauannya dengan akhirat, adalah dibuktikan oleh apa yang diriwayatkan bahwa sesungguhnya Sufyan bin 'Uyaynah meriwayatkan suatu hadits tentang sifat yang halus halus, lalu pingsanlah Asy-Syafi'i ra. Maka orang mengatakan kepadanya : Imam Asy-Syafi'i telah wafat. Lalu Sufyan menjawab : "Jika benarlah ia telah wafat maka telah wafatlah orang yang paling utama bagi zamannya".
Dan apa yang diriwayatkan Abdullah bin Muhammad Al-Balawi dengan katanya : "Adalah aku & Umar bin Nabatah duduk memperkatakan tentang orang 'abid dan orang zahid. Maka berkata Umar kepadaku : "Belum pernah aku melihat orang yang lebih wara' dan lancar berbicara dari Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i ra. Aku, Imam Asy-Syafi'i dan Al-Harits bin Lubaid pergi ke bukit Shafa. Al-Harits adalah murid Ash ShaIih Al-Marri. Ia memulai membaca Al-Quran.
Adalah dia mempunyai suara merdu, lalu membaca ayat ini :
هَذَا يَوْمُ لا يَنْطِقُونَ ,وَلا يُؤْذَنُ لَهُمْ فَيَعْتَذِرُونَ
(Haadzaa yaumu laa yanthiquun. Wa laa yu'-dzanu lahum faya'tadziruun).
Artinya :"Inilah hari yang dikala itu mereka tiada dapat berbicara.Dan kepada mereka tiada diberikan keizinan, sehingga mereka dapat memajukan keberatan (pembelaan)".(S. Al-Mursalat, ayat 35 - 36).
 
Maka aku lihat Imam Asy-Syafi'i ra. berubah warna mukanya, berkerut kulit    keningnya,badannya gemetar lalu jatuh tersungkur.
 
Ketika ia sadar kembali,maka ia berkata : "Aku berlindung dengan Engkau ya Allah dari tempat berdirinya orang-orang dusta dan penyelewengan orang-orang lengah. Ya Allah, kepadaMu jua tunduk hati orang-orang 'arifin (orang yang mengenal Allah) dan membungkuk merendahkan diri orang-orang yang rindu kepada Engkau'. Tuhanku! Anugerahilah kepadaku limpah karuniaMu Mudakanlah aku dengan lindunganMu! Ma'afkanlah kelalaianku dengan kemurahanMu!".
Abdullah bin Muhammad Al-Balawi menerangkan : "Kemudian ia pergi dan kamipun pergi. Tatkala aku masuk Bagdad dan Asy-Syafi'i ra. masih di Irak. Maka aku duduk di tepi sungai, mengambil wudlu untuk bershalat. Tiba-tiba lewat disampingku seorang laki-laki, seraya berkata kepadaku : "Ya, saudara! Berwudlulah dengan baik, niscaya Allah memberikan kebaikan kepadamu di dunia dan di akhirat". Lalu aku menoleh, maka tiba-tiba aku dengan orang yang diikuti oleh orang ramai. Maka bergegas-gegaslah aku berwudlu dan mengikutinya dari belakang. Maka ia memandang kepadaku seraya bertanya : "Adakah bagimu keperluan ?".
"Ada!", jawabku. "Ajarilah aku sedikit dari pengetahuan yang dianugerahi Allah kepadamu!".

Maka ia menjawab : "Ketahuilah! Orang yang membenarkan Allah, niscaya terlepas dari bahaya. Orang yang sayang kepada agamaNya, niscaya selamat dari kehinaan. Orang yang zuhud pada dunia, niscaya tetaplah dua matanya memandang pahala dari pada Allah Ta'ala pada hari esok. Apakah aku tambahkan lagi ?".

"Ya!", jawabku.
Lalu ia menyambung : "Orang yang ada padanya tiga perkara, maka sempurnalah imannya : orang yang menegakkan amar ma'ruf terhadap orang lain dan terhadap dirinya, orang yang menjalankan nahi mungkar terhadap orang Iain dan terhadap dirinya dan orang yang menjaga batas-batas yang ditentukan Allah Ta'ala.

Apakah aku tambahkan lagi?".
"Ya!", jawabku.

Maka ia menyambung : "Hendaklah kamu zuhud di dunia dan gemar ke akhirat. Danbenarkanlah akan Allah Ta'ala dalam segala pekeijaanmu, niscaya engkau terlepas serta orang-orang, yang terlepas dari segala mara bahaya". Kemudian ia pergi lalu aku  tanyakan, siapakah orang itu ? Maka menjawab orang banyak : "Itulah Imam Asy-Syafi'i".
Lihatlah Imam Asy-Syafi'i ra. jatuh tersungkur, kemudian perhatikanlah kepada        pengajarannya, betapa membuktikan yang demikian itu, kepada kezuhudan dan sangat ketakutannya kepada Allah Ta'ala.

Ketakutan dan kezuhudan ini tidak datang selain karena mengenal  Allah 'Azza wa Jalla.

Allah berfirman :

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
(Innamaa yakhsyallaaha min 'ibaadihil 'ulamaa-u)
Artinya :"Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hambaNya ialah ulama ". (S. Fathir, ayat 28).
 
Maka Imam Asy-Syafi'i ra. tidaklah memperoleh ketakutan dan kezuhudan itu, dari ilmu kitab berjual-beli dan sewa-menyewa dan lain-lain kitab fiqih. Tetapi diperolehnya dari ilmu akhirat yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits. Karena hukum dari orang-orang terdahulu dan yang kemudian, tersimpan pada keduanya.
 
Adapun tentang ke'alimannya, mengetahui segala rahasia hati dan ilmu-ilmu akhirat, maka anda dapat mengetahuinya dari kata-kata hikmah yang berasal daripadanya.
 
Menurut riwayat, pernah orang bertanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra. tentang ria, maka ia menjawab dengan tegas : "Ria adalah suatu fitnah yang diikatkan oleh hawa nafsu untuk mendindingi penglihatan mata hati ulama-ulama. Lalu mereka melihat kepada ria itu, dengan jahatnya pilihan jiwa. Maka binasalah segala amalannya".
Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Apabila engkau takuti timbul 'ujub pada amalanmu, maka pandanglah kepada rela Tuhan yang engkau cari, pada pahala yang engkau gemari, pada siksa manapun yang engkau takuti, pada sehat yang engkau syukuri dan pada bala yang engkau ingati. Apabila engkau renungkan salah satu dari perkara-perkara tadi maka kecillah rasanya pada matamu amalanmu itu".
 
Lihatlah bagaimana Imam Asy-Syafi'i ra. menerangkan hakikat ria dan cara mengobati 'ujub. Keduanya itu adalah bahaya besar bagi hati.
Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : ''Barangsiapa tiada menjaga dirinya maka tak bergunalah ilmunya".
 
Katanya lagi : "Barangsiapa ta'at kepada Allah Ta'ala dengan ilmu, maka bermanfa'atlah bathinnya". Katanya lagi: "Tiada seorangpun melainkan mempunyai yang dikasihi dan yang dimarahi. Apabila ada seperti demikian, maka hendaklah engkau bersama golongan orang yang ta'at kepada Allah Ta'ala".
Diceriterakan bahwa Abdul Kadir bin Abdul Aziz adalah seorang salih yang wara'. Dan ia bertanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra. tentang masalah wara' itu. Dan Imam Asy-Syafi'i amat suka menerima kedatangannya karena wara'nya. Maka pada suatu hari bertanyalah

ia kepada Imam Asy-Syafi'i ra. "Manakah yang lebih utama : sabar atau diuji atau diberi keteguhan hati?".
Maka menjawab Imam Asy-Syafi'i ra. : "Diberi keteguhan hati adalah derajat Nabi-Nabi. Dan tak ada keteguhan hati itu selain sesudah diuji. Apabila diuji maka bersabar. Apabila sudah bersabar maka teguhlah hati. Tidaklah engkau lihat, bahwa Allah Ta'ala menguji Nabi Ibrahim as., kemudian la memberikannya ketetapan hati? Ia menguji Nabi Musa as., kemudian Ia memberikannya ketetapan hati. Ia menguji Nabi Ayub as., kemudian Ia memberikannya ketetapan hati. Dan ia menguji Nabi Sulaiman as., kemudian Ia memberikannya ketetapan hati dan menganugerahinya kerajaan.

Maka ketetapan hati itu adalah derajat yang paling utama?
 
Berfirman Allah Ta'ala :
وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الأرْضِ
(Wa kadzaalika makkannaa li-yuusufa fil ardli).
Artinya:"Dan begitulah Kami teguhkan kedudukan Yusuf dimuka bumi".(S. Yusuf, ayat 21).
Nabi Ayub as. sesudah menghadapi ujian besar, barulah diberi keteguhan hati.
Berfirman Allah Ta'ala :
وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ
(Wa aatainaahu ahlahuu wa mitslahum ma'ahum.).
Artinya :"Kami berikan kepadanya pengikut-pengikutnya dan tambahannya lagi sebanyak itu pula". (S. Al-Ambiya', ayat 84).
Kata-kata tersebut dari Imam Asy-Syafi'i ra. menunjukkan betapa melaut pahamnya akan rahasia yang terkandung dalam Al-Qur'an dan penglihatannya tentang kedudukan orang-orang yang menuju kepada Allah Ta'ala, baik Nabi-Nabi atau Wali-Wali. Semuanya itu
adalah dari ilmu akhirat.
Ditanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra. : "Bilakah seorang itu dipandang 'alim?".
Ia menjawab : "Apabila ia yakin pada sesuatu ilmu lalu diajarinya ilmu itu. Kemudian ia menempuh ilmu-ilmu yang lain, maka dilihatnya, mana yang belum diperolehnya. Ketika itu, barulah dia seorang 'alim".
 
Pernah ditanyakan orang kepada Jalinus : "Sesungguhnya tuan menyuruh buat bermacam-macam obat untuk satu penyakit".
 
Menjawab Jalinus : "Yang dimaksudkan dari obat-obat itu adalah satu. Dan dimasukkan yang lain ke dalamnya, adalah supaya tetap ketajamannya, karena kalau masing-masing sendiriannya itu membunuh".
 
Contoh tadi dan lain-lainnya yang tidak terkira banyaknya, menunjukkan ketinggian derajat Imam Asy-Syafi'i tentang mengenai Allah Ta'ala dan ilmu akhirat.

Adapun maksudnya dengan ilmu fiqih dan perdebatan di dalamnya, adalah semata-mata wajah Allah Ta'ala. Dalil untuk itu adalah riwayat yang menerangkan bahwa Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata:"Aku ingin manusia mengambil manfa'at dari ilmu ini dan ilmu-ilmu Iain yang ada padaku, meskipun sedikit".
Maka lihatlah betapa Imam Asy-Syafi'i ra. Memperhatikan kepada bahaya ilmu dan mencari nama baginya. Dan bagaimana ia membersihkan hati dari pada berpaling kepadanya, yang semata- mata niatnya adalah karena wajah Allah Ta'ala. Asy-Syafi'i ra,berkata :

"Tidaklah sekali-kali aku bertukar pikiran dengan seseorang, dengan tujuan bahwa aku lebih suka ia salah".
 
Katanya lagi : "Tidaklah sekali-kali aku berkata dengan seseorang, selain aku menyukai

supaya dia mendapat taufiq dan kebenaran, pertolongan dan pimpinan daripada Allah Ta'ala serta pemeliharaan. Dan tidaklah sekali-kali aku berbicara dengan seseorang, selain perhatian ku supaya kebenaran diterangkan Allah dengan lidahku atau lidahnya"
 
Berkata lagi Imam Asy-Syafi'i ra. : "Tidaklah aku kemukakan kebenaran dan keterangan kepada seseorang, lalu diterimanya daripadaku, melainkan aku takut kepadanya dan aku percaya akan kasih sayangnya. Sebaliknya, kalau orang menyombong diri dengan aku terhadap kebenaran dan menolak keterangan maka jatuhlah orang itu dari pandanganku dan aku menolak berhadapan dengan dia".
Inilah tanda-tanda, yang menunjukkan atas kehendak Allah Ta'ala dengan ilmu fiqih dan perdebatan (munadlarah) itu. Maka lihatlah betapa Imam Asy-Syafi'i ra. dituruti orang dari jumlah perkara yang lima itu, kepada satu perkara saja. Kemudian, bagaimana pula orang-orang itu menyalahinya dalam satu perkara tadi. Dan karena inilah berkata Abu Tsaur ra. : "Tak pernah aku dan orang-orang lain melihat seperti Imam Asy-Syafi'i ra.". Berkata Imam

Ahmad bin Hanbal ra. : "Tak pemah aku melakukan shalat selama empat puluh tahun, yang tidak aku berdo'a kepada Imam Asy-Syafi'i ra.".
Lihatlah betapa adanya keinsyafan dari orang yang mendo'a dan betapa pula derajat orang yang dido'akan. Cobalah bandingkan dengan Imam Asy-Syafi'i ra. akan teman-teman dan tokoh-tokoh ulama pada masa ini. Dan apa yang terjadi dikalangan mereka yang merupakan pendendaman dan permusuhan. Supaya engkau tahu keteledoran mereka mengakui mengikuti ulama-ulama besar itu.
Karena banyaknya do'a Imam Ahmad bin Hanbal kepada Imam Asy-Syafi'i ra. lalu bertanyalah anaknya : "Orang mana Asy-Syafi'i itu sampai ayah mendo'a semua do'a ini?".

Maka menjawab Ahmad bin Hanbal : "Hai anakku! Imam Asy-Syafi'i itu adalah seumpama matahari bagi dunia dan kesehatan bagi manusia".
Lihatlah, adakah bagi dua perumpamaan tadi, orang yang dapat menggantikannya?

Imam Ahmad pernah berkata : "Tiada seorangpun menyentuh botol tinta dengan tangannya, melainkan ada jasa Imam Asy-Syafi'i padanya".
Berkata Yahya bin Sa'id Al-Qattan "Tidak pernah aku bershalat selama empat puluh tahun, yang tidak aku berdo'a di dalamnya kepada Imam Asy-Syafi'i.-Karena Allah 'Azza wa Jalla

telah membuka ilmu baginya dan memberinya taufiq kepada jalan yang benar".
Kiranya kita cukupkan sekian mengenai hal-ikhwal Imam Asy-Syafi'i itu, karena banyaknya tidak terhingga. Sebahagian besar dari perjalanan hidup Imam Asy-Syafi'i ini, kami salin dari kitab biografinya, karangan Syekh Nasar bin Ibrahim Al-Muqaddasi ra. Kiranya Allah merelai Imam Asy-Syafi'i dan seluruh kaum muslim!.
Adapun Imam Malik ra. maka beliaupun berpakaian dengan yang lima perkara itu. Pernah orang bertanya kepadanya tentang menuntut ilmu : "Apakah yang hendak tuan katakan tentang menuntut ilmu?". Lalu menjawab Imam Malik ra. : "Bagus, baik!

Tetapi perhatikanlah apa yang harus engkau kerjakan dari pagl sampai petang, maka perlukanlah pekerjaan itu!".

Imam Malik ra. sangat memuliakan ilmu agama. Sehingga apabila ia bermaksud meriwayatkan hadits, maka lebih dahulu ia mengambil wudlu' dan duduk dihadapan tempat duduknya dan menyisirkan janggutnya, memakai bau-bauan serta duduk dengan tenang dan bersikap. Maka barulah beliau meriwayatkan hadits itu".
Karena caranya yang demikian, maka orang bertanya kepadanya, lalu ia menjawab : "Aku suka membesarkan hadits Rasulullah saw.'

Berkata Imam Malik ra. : "Ilmu itu nur, yang diberikan oleh Allah menurut kehendakNya. Dan tidaklah ilmu itu dengan banyak cerita'

Kehormatan dan kemuliaan yang diberikan Imam Malik itu, menunjukkan kepada ketinggian mutu pengetahuannya tentang kebesaranAllah Ta'ala,

Tentang tujuan Imam Malik ra. dengan ilmunya itu akan wajah Allah Ta'ala, dibuktikan oleh ucapannya  "Bertengkar dalam agama, tiada gunanya sama sekali".Dan dibuktikan lagi dengan ucapan Imam Asy-Syafi'i ra. : "Saya melihat Imam Malik ra .ketika dimajukan kepadanya empat puluh delapan masalah, maka ia menjawab mengenai tiga puluh dua dari masalah -masalah itu ."Saya tidak tahu".

Orang yang bertujuan dengan ilmunya bukan wajah Allah Ta'ala,tentu tidak bersedia mengaku tidak tahu. Dari itu, berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Apabila disebut nama ulama, maka Malik adalah bintangnya yang cemerlang. Dan tidak ada seorangpun yang lebih banyak jasanya kepadaku, dari Imam Malik".
Menurut riwayat, Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur melarang Imam Malik daripada meriwayatkan hadits mengenai talak dari orang yang dipaksakan. Kemudian Abu Ja'far mengancam orang yang menanyakan itu pada Imam Malik. Lalu Imam Malik menyambut ancaman tadi dengan meriwayatkan di muka umum hadits Nabi saw. yang menerangkan bahwa tidak jatuh talak orang yang dipaksakan.
Maka khalifah menyuruh pukul Imam Malik dengan cemeti. Tetapi beliau terus meriwayatkan hadits itu.
Imam Malik ra. berkata : "Tiadalah seseorang yang benar dalam pembicaraannya dan tidak membohong, melainkan akal pikirannya mendapat hiasan dan tidak akan kena bencana dan pikiran-pikiran khurafat pada hari tuanya".
Tentang zuhudnya Imam Malik menghadapi dunia, dibuktikan oleh riwayat bahwa khalifah Al-Mahdi bertanya kepada Imam Malik:

"Adakah tuan mempunyai rumah?".
"Tidak ada", jawab Imam Malik. "Tetapi dapat aku terangkan bahwa pernah mendengar Rabi'ah bin Abi Abdir Rahman berkata :

"Bangsa seseorang ditunjukkan oleh rumahnya".
Khalifah Harunur Rasyid bertanya kepada Imam Malik : "Adakah tuan mempunyai rumah?"."Tidak ada!", jawabnya.

"Lalu Harunur Rasyid menganugerahkan uang tiga ribu dinar kepada Imam Malik, seraya mengatakan : "Belilah rumah dengan uang ini!".

Imam Malik mengambil wang itu, tetapi tidak dibelinya rumah.
Ketika Harunur Rasyid ingin bertambah terkenal, lalu mengatakan kepada Imam Malik ra. "Seyogialah tuan pergi bersama kami. Aku bercita-cita membawa perhatian manusia kepada

kitab "Al-Muaththa' " (nama kitab yang dikarang Imam Malik),sebagaimana khalifah Utsman ra. membawa perhatian manusia kepada Al-Qur'an.
Menjawab Imam Malik : "Adapun membawa manusia kepada Kitab Al-Muaththa', maka tiada jalan kepadanya. Karena parashahabat Rasulullah saw. sudah bersebar kesegenap negeri sesudah wafatnya. Lalu mereka memperkatakan hadits. Maka pada tiap-tiap penduduk negeri ada ilmunya. Nabi صلى الله عليه وسلم pernah mengatakan :

صلى الله عليه وسلم : اختلاف أمتي رحمة .
(Ikhtilaafu ummatii rahmah).
Artinya : "Perbedaan pendapat ummatku itu adalah suatu rahmat". (1)
Adapun keluar bersama tuan, maka tiada jalan kepadanya.

Nabi صلى الله عليه وسلم pernah bersabda :
المدينة خير لهم لو كانوا يعلمون
(Al-madiinatu khairun lahum lau kaanuu yalamuun).
Artinya :"Madinah ini lebih baik bagi mereka kalau mereka mengetahuinya '.' (2)

Dan lagi Nabi صلى الله عليه وسلم  Bersabda :

   (المدينة تنفي خبثها كما ينفي الكير خبث الحديد)

(Al-madiinatu tanfii khabatsahaa kamaa yanfil kiiru khabatsal hadiid).
Artinya :"Madinah itu menghilangkan kotorannya seperti penempaan menghilangkan
kotoran besi". (3)
 

    1.Hadits ini dirawikan At-Baihaqi dari Ibnu Abbas dan isnadnya dla'if.2.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Sufyan bin Abi Zuhair.3.Dirawikan AI-Bukharl dan Muslim dari Abi Hurairah.

Inilah dinarmu, seperti adanya! Kalau kamu mau, maka ambilkanlah!

Dan kalau kamu tak mau, maka tinggalkanlah! Yakni sekiranya engkau memaksakan aku supaya berpisah dengan kota Madinah, maka tidak dapat engkau berbuat demikian kepadaku. Aku tidak dapat memilih dunia dari Madinah Rasulullah saw.".
Begitulah zuhudnya Imam Malik ra. pada dunia! Sewaktu dibawa kepadanya harta yang banyak dari beberapa sudut dunia untuk perkembangan ilmunya dan teman-temannya, maka dibagibagikannya uang itu pada jalan kebajikan. Kemurahan hatinya

menunjukkan kepada zuhudnya dan sedikit cintanya kepada dunia.
Zuhud sebetulnya bukan ketiadaan harta, tetapi zuhud ialah kosongnya hati dari harta itu. Nabi Sulaiman pun salah seorang yang zuhud dalam pemerintahannya.
Dibuktikan betapa hina pandangan Imam Malik kepada dunia, oleh suatu riwayat dari Imam Asy-Syafi'i, bahwa Imam Asy-Syafi'i menerangkan : "Aku melihat pada pintu tempat tinggal Imam Malik seekor kuda Khurasan, namanya "Misr". Aku belum pernah melihat kuda secantik itu. Lalu aku mengatakan kepadanya : "Alangkah cantiknya kuda ini!".
Maka beliau menjawab : "Kuda ini hadiahku kepadamu, hai ayah Abdullah!".

Maka aku menjawab : "Biarlah kuda irii untuk tuan hamba, menjadi kuda tunggangan tuan hamba sendiri".
Menyambung Imam Malik : "Aku malu kepada Allah Ta'ala memijakkan tanah dengan kuku kuda, di mana di dalamnya dikuburkan Nabi Allah صلى الله عليه وسلم.".
Lihatlah betapa kemurahan hati Imam Malik dengan menyerahkan semuanya itu sekaligus dan betapa penghormatannya kepada tanah Madinah!.
Dibuktikan kepada kehendaknya dengan ilmu itu, akan wajah Allah Ta'ala dan tentang hina pandangannya kepada dunia, oleh riwayat yang menerangkan bahwa Imam Malik pernah berkata

"Aku pernah datang ke tempat Harunur Rasyid. Lalu berkatalah Harunur Rasyid kepadaku : "Wahai Ayah Abdullah! Sayogialah tuan selalu datang kepada kami, sehingga anak-anak kita mendengar kitab Al-Muaththa' langsung dari tuan sendiri". Imam Malik berkata : "Lalu jawabku : "Kiranya Allah menambahkan kemuliaan

Amir penghulu kami. Sesungguhnya ilmu itu adalah seumpama uang keluar dari padamu. Jikalau engkau muliakan, maka mulialah dia dan jika engkau hinakan maka hinalah dia. Ilmu itu didatangi dan tidak mendatangi (Al-'ilmu yu'ta walaa ya'ti)".
Maka menyambung Harunur Rasyid : "Benar tuan! Keluarlah ke masjid supaya tuan mendengar bersama manusia ramai!".

Adapun Imam Abu Hanifah ra. juga seorang 'abid, zahid, 'arif billah,amat takut kepadaNya dan menghendaki wajah Allah dengan ilmunya.
 
Adapun dia itu 'abid, maka dapat diketahui dengan riwayat dari Ibnul Mubarak yang mengatakan : "Imam Abu Hanifah ra.
 
adalah seorang yang berperikemanusiaan dan banyak mengerjakan shalat". Menurut ceritera Hamrnad bin Abi Sulaiman, adalah Imam Abu Hanifah menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah.
Menurut riwayat yang lain, ia menghidupkan setengah malam dengan ibadah.

Pada suatu hari, Imam Abu Hanifah lalu di jalan besar. Lalu orang menunjukkan kepadanya dan ia sedang berjalan kaki, dengan mengatakan kepada orang lain : "Itulah dia, orang yang menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah".
 
Maka senantiasalah sesudah itu, ia menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah dan mengatakan : "Aku malu kepada Allah swt. disebutkan tentang ibadahku yang tidak sebenarnya".
Mengenai zuhudnya, diriwayatkan dari Ar-Rabi' bin 'Ashim, yang mengatakan : "Aku diutus oleh Yazid bin Umar bin Hubairah.
 
Maka aku datang menjumpai Abu Hanifah. Yazid mau mengangkat Abu Hanifah menjadi pengurus "baital-mal". Ia menolak lalu dipukul 20 kali".

Lihatlah bagaimana ia lari dari pangkat dan bersedia menanggung 'azab sengsara.

Berkata Al-Hakam bin Hisyam At-Tsaqafi "Orang menceriterakan kepadaku di negeri Syam, suatu ceritera tentang Abu Hanifah, bahwa beliau adalah seorang manusia pemegang amanah yang terbesar. Sultan mau mengangkatnya menjadi pemegang kunci gudang kekayaan negara atau memukulnya kalau menolak.
 
Maka Abu Hanifah memilih siksaan mereka daripada siksaan Allah Ta'ala".
 
Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah disebutkan namanya pada Ibnul Mubarak, lalu Ibnul mubarak menjawab : "Adakah kamu sebutkan seorang laki-laki, yang diberikan kepadanya dunia dengan segala kemewahannya, lalu ia lari daripada kemewahan itu?".

Diriwayatkan dari Muhammad bin Syujja', berasal dari setengah shahabat Abu Hanifah, bahwa ada orang mengatakan kepada Abu Hanifah : "Amirul-mu'minin Abu Ja'far Al-Manshur memerintahkan untuk dianugerahkan kepada tuan, uangsebanyak sepuluh ribu dirham".

Muhammad bin Syujja' mengatakan, bahwa Abu Hanifah tidak bersedia menerima pemberian tersebut. Muhammad bin Syujja' mengatakan : "Ketika sampai pada hari yang diduga uang itu akan diantarkan kepada Abu Hanifah, maka ia mengerjakan shalat shubuh. Kemudian ia menutup badannya dan tidak berkatakata sepatah katapun".
 
Maka datanglah utusan Al-Hasan bin Quhthubah membawa wang, lalu masuk ke tempat Abu Hanifah. Dan Abu Hanifah tidak berbicara dengan dia. Lalu berkata sebahagian orang yang hadlir :

"Beliau itu tidak berbicara dengan kita, kecuali sepatah demi sepatah.

Artinya, itulah kebiasaan beliau".

Kemudian, maka berkatalah Imam Abu Hanifah : "Letakkanlah uang itu dalam tas kulit ini dan bawalah ke sudut rumah!".
Kemudian, sesudah itu, Abu Hanifah meninggalkan wasiat mengenai harta benda di rumahnya. Dia mengatakan kepada anaknya : "Apabila aku mati kelak dan aku telah kamu kuburkan maka ambillah dirham yang puluhan ribu ini. Dan bawalah kepada Al- Hasan bin Quhthubah dan katakanlah kepadanya : "Ambillah barang simpanan engkau yang engkau simpan pada Abu Hanifah!".
Berkata anak Abu Hanifah : "Maka aku laksanakan wasiat itu".

Lalu berkata Al-Hasan : "Rahmat Allah kepada ayahmu. Sesungguhnya dia adalah orang yang tidak mau sedikitpun mengulur tentang agamanya".

Diriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah dipanggil untuk diangkat menjadi kadli (hakim), lalu ia menjawab : "Aku tidak layak untuk jabatan itu!".

Lalu orang bertanya kepadanya : "Mengapa?".

Abu Hanifah menjawab : "Kalau aku benar, maka aku tak layak untuk itu. Kalau aku bohong, maka pembohong tak layak menjadi kadli!".
 

Adapun ilmunya dengan jalan akhirat dan jalan urusan agama serta pengetahuannya tentang Allah 'Azza wa Jalla, maka dibuktikan oleh kesangatan takutnya kepada Allah Ta'ala dan zuhudnya terhadap dunia.
Berkata Ibnu Juraij : "Telah sampai kepadaku tentang orang negeri Kufahmu yakni Nu'man bin Tsabit (Abu Hanifah) itu, bahwa ia seorang yang sangat takut kepada Allah Ta'ala".
Berkata Syuraik An-Nakha'i "Adalah Abu Hanifah seorang pendiam, selalu berpikir dan sedikit berbicara dengan manusia".
Inilah diantara tanda-tanda yang tegas, dari ilmu bathin dan bekerja untuk kepentingan agama. Barangsiapa bersifat pendiam dan zuhud, maka telah memperoleh semua ilmu pengetahuan.
 
Demikianlah sekelumit dari perikehidupan tiga imam besar itu.
 
Adapun Imam Ahmad bin Hanbal ra. dan Sufyan Ats-Tsuri ra. maka pengikut keduanya adalah kurang, bila dibandingkan dengan pengikut imam yang tiga itu. Pengikut Sufyan, adalah kurang bila dibandingkan dengan pengikut Imam Ahmad. Tetapi kemasyhuran dua imam ini, dengan wara' dan zuhud, adalah lebih menonjol. Seluruh isi kitab ini, penuh dengan ceriteia-ceritera mengenai perbuatan dan perkataan keduanya. Dari itu tidak perlu lagi diperinci sekarang.
Maka lihatlah sekarang tentang perjalanan hidup imam tiga itu!. Dan perhatikanlah bahwa segala keadaan tersebut, perkataan dan perbuatan mereka itu, tentang berpaling dari dunia dan menumpah-kan. seluruh perhatian kepada Allah Ta'ala, adakah dihasilkan oleh semata-mata pengetahuan dengan cabang-cabang fiqih, dari pengetahuan berjual beli, menyewa, dhihar, ila' dan li'an atau dihasilkan oleh sesuatu pengetahuan lain yang lebih tinggi dan lebih mulia dari ilmu fiqih itu? Dan lihatlah kepada mereka yang mendakwakan dirinya pengikut imam-imam itu, apakah mereka benar pada pendakwaannya atau tidak?
--------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar